Aku punya luka yang hingga kini masih tak sembuh
Luka tak terkeringkan oleh serbuk penisilin
Luka yang menandai bilamana aku mulai mengingatmu
Sama halnya ketika kucoba melupakanmu
Luka yang bertambah setiap hari, karena mata duri
Jeruju cemburu di ruas jalan kasar ke sekolah dasar
Tempatku mengajar,tempatku belajar
Ketika malam mulai merapat menjemput senja
Dan tidur setelah mengatur sepohon mimpi
Aku sudah bisa berenang, diajari oleh gelombang
Ketika pertama kali harus kulakukan, betapa sulitnya mencari sepiring nasi
Bukan untuk sekadar menutup, mulut yang lapar
Namun harus mampu mengunakan
Apa yang kudapatkan
Aku sudah tahu waktu Ayah meninggalkanku
Saat Ibu pergi untuk selamanya
Bahwa kehidupan ini amatlah keras
Hujan tak menggigilkan aku,
Ia adalah kawan bermain,
Petir tak menggentarkan aku,
Ia adalah retak langit bagi ulur tangan yang akan
menjemputku ke negeri yang indah.
Aku menggali mineralku sendiri, memikul dengan
bahu yang mulai mengeras tulang.
Aku memulai pelayaranku sendiri.
Yang jauh, berbadai dan gamang.
Pada hari aku terbang sendiri,
Di pesawat yang harga tiketnya kutabung dari upah yang kukerjakan
Aku mulai percaya bawa sayap tidak tumbuh di punggung,
Tapi ia telah lama ada, membentang di dalam pikiran.
Tinggal kemana kita kan kepakkan
Senja aku pengaku dosa-dosa yang paling kotor
Malam aku penyair meragi jawab tak pernah ada
Fajar aku pengemis pemalu yang enggan meminta
Siang aku pewarta yang meragu pada peristiwa
Aku cuma pekebun ilmu, bukan tuan sehutan jati
Aku cuma penanam dan penjaga kelapa sehalaman,
Bukan pemilik luas lahan sawit berhektar ribuan
Tapi dari sinilah kubisa bertahan
Kau pasti tahu betapa keras hidup yang kujalani
Tapi mengapa masih kau tambah lagi luka nurani?
Aku tak mengerti...
Luka tak terkeringkan oleh serbuk penisilin
Luka yang menandai bilamana aku mulai mengingatmu
Sama halnya ketika kucoba melupakanmu
Luka yang bertambah setiap hari, karena mata duri
Jeruju cemburu di ruas jalan kasar ke sekolah dasar
Tempatku mengajar,tempatku belajar
Ketika malam mulai merapat menjemput senja
Dan tidur setelah mengatur sepohon mimpi
Aku sudah bisa berenang, diajari oleh gelombang
Ketika pertama kali harus kulakukan, betapa sulitnya mencari sepiring nasi
Bukan untuk sekadar menutup, mulut yang lapar
Namun harus mampu mengunakan
Apa yang kudapatkan
Aku sudah tahu waktu Ayah meninggalkanku
Saat Ibu pergi untuk selamanya
Bahwa kehidupan ini amatlah keras
Hujan tak menggigilkan aku,
Ia adalah kawan bermain,
Petir tak menggentarkan aku,
Ia adalah retak langit bagi ulur tangan yang akan
menjemputku ke negeri yang indah.
Aku menggali mineralku sendiri, memikul dengan
bahu yang mulai mengeras tulang.
Aku memulai pelayaranku sendiri.
Yang jauh, berbadai dan gamang.
Pada hari aku terbang sendiri,
Di pesawat yang harga tiketnya kutabung dari upah yang kukerjakan
Aku mulai percaya bawa sayap tidak tumbuh di punggung,
Tapi ia telah lama ada, membentang di dalam pikiran.
Tinggal kemana kita kan kepakkan
Senja aku pengaku dosa-dosa yang paling kotor
Malam aku penyair meragi jawab tak pernah ada
Fajar aku pengemis pemalu yang enggan meminta
Siang aku pewarta yang meragu pada peristiwa
Aku cuma pekebun ilmu, bukan tuan sehutan jati
Aku cuma penanam dan penjaga kelapa sehalaman,
Bukan pemilik luas lahan sawit berhektar ribuan
Tapi dari sinilah kubisa bertahan
Kau pasti tahu betapa keras hidup yang kujalani
Tapi mengapa masih kau tambah lagi luka nurani?
Aku tak mengerti...